Cerita Terpendek; Perempuan Penjaga Pintu

Jemariku gemetar menggenggam gagang pintu. Ragu. Sudah dua jam pintu kayu itu kuketuk namun tak juga menimbulkan suara. Jutaan rasa berkecamuk menyesaki batinku. “Apakah Mas Prawira baik-baik saja? bagaimana kalau dia sakit?”

Lagi-lagi kulongokkan mata mengitari seluruh halaman. Sepi. Senja pun telah menggulung cahayanya menuju barat. Tak ada tanda-tanda lampu penerangan rumah mungil ini akan dinyalakan. Sehingga pekat pun mengerubungi sela-sela sel epidermis. Retinaku mulai kabur menahan perih.

Sekejap. Lampu-lampu neon memancarkan cahaya menerangi semua sudut rumah. Sesosok pria bertubuh tegap tiba-tiba mendorong pintu hingga membuatku tersembunyi di belakangnya. Ia menapakkan kaki keluar rumah tanpa menatap pintu lagi. Bersenyum sapa menjumpai tetangganya lalu berjalan bersama menuju satu-satunya surau di kampung ini.

Sedetik kemudian pandanganku terganggu oleh empat orang gadis yang berjalan di belakang.
“Ganteng ya,”
“Iya. Wajahnya teduh sekali,”
“Wajah-wajah sajadah sih…” sahut gadis lain sembari cekikikan diikuti tawa teman-temannya.
“Sudah lima tahun menduda, kenapa tidak menikah lagi saja ya. Aku mau jadi istrinya.”
Geramku mencekat tenggorokan. Dengus napasku memburu—mengumpulkan tenaga untuk memekikkan, “dengar kalian! hanya aku satu-satunya istri Mas Prawiraaa…!!!” teriakku frustrasi.

Tentu mereka tak mendengarnya, sebab kalimatku hanya menggantung di udara.