Bulan yang tak punya ujung. Engkau yang masih terus meronakan senja. Bahkan ketika hujan tak berhenti untuk waktu yang cukup lama. Derai gesek dedaunan memelodikan lagumu. Hadirlah sosok pemuda berkacamata, berframe penuh, tersenyum, tak terabai…
Menghiasi ketajaman tatap pertama hingga berakhir di ujung gerbang museum. Menguar bersama memori senja kala itu. Bingar langkah yang tak lagi terdengar. Biru langitku dilukisi amulet jingga. Dan engkau masih terpaku di balik gerbang, menantiku. Kala itu gerimis. Kala itu senja. Kala itu hingar dalam keheningan semesta. Aku pergi dengan keretaku tanpa kuda. Karena engkau yang menungganginya. Menuju selatan dari tempatku berdiri. Kita berpisah begitu saja tanpa saling tahu. Hanya tatap yang berkenalan, merekalah yang mencipta detak tak beraturan, geraknya tiada pasti.
Sejurus kemudian detik menyadarkan bahwa jingga telah memadu kasihnya di ujung barat. Ternyata aku terduduk seorang diri, di beranda rumah pohon, entah menunggu apa dan siapa…, Menyunggingkan senyum pada isyarat. Senja.