Jingga di Penghujung Bulan Delapan

Bulan yang tak punya ujung. Engkau yang masih terus meronakan senja. Bahkan ketika hujan tak berhenti untuk waktu yang cukup lama. Derai gesek dedaunan memelodikan lagumu. Hadirlah sosok pemuda berkacamata, berframe penuh, tersenyum, tak terabai…

Menghiasi ketajaman tatap pertama hingga berakhir di ujung gerbang museum. Menguar bersama memori senja kala itu. Bingar langkah yang tak lagi terdengar. Biru langitku dilukisi amulet jingga. Dan engkau masih terpaku di balik gerbang, menantiku. Kala itu gerimis. Kala itu senja. Kala itu hingar dalam keheningan semesta. Aku pergi dengan keretaku tanpa kuda. Karena engkau yang menungganginya. Menuju selatan dari tempatku berdiri. Kita berpisah begitu saja tanpa saling tahu. Hanya tatap yang berkenalan, merekalah yang mencipta detak tak beraturan, geraknya tiada pasti.

Sejurus kemudian detik menyadarkan bahwa jingga telah memadu kasihnya di ujung barat. Ternyata aku terduduk seorang diri, di beranda rumah pohon, entah menunggu apa dan siapa…, Menyunggingkan senyum pada isyarat. Senja.

Bias

Sepertinya hujan, sepertinya hanya gerimis, tapi sepertinya sekedar mendung. Ah entahlah. Apapun kamu namanya, terima kasih telah mendamaikan. Menyuguhkan secangkir moca dan remah roti sisa kemarin sore. Terasa nikmat karena bersamamu, bersama aroma senja. Menghapus sejenak kerinduan akan teh melati. Menghapus jejak elegi.

Jemariku kian merasa dahaga, mencumbu diksi, menumpahkan logika, menghitung jaring-jaring kalimat akanmu. Menari bebas di atas mimbar cahaya jingga. Dan lagi, saat senja. Menuju arah angin. Ke arah di mana kamu akan menyambut kedatanganku dengan hangat. Mendekapku setelah perjalanan panjangku yang dingin. Bertarung dengan semesta. Dan ketika semua itu terjadi, segalanya sempurna bersama hadirnya, tentang sebuah rasa.

Tetesan kata-kata. Dan entahlah. Kalimat-kalimatmu kian meragu. Lembaran lain tersedia untuk kau tulis. Lembaranku tak lagi seputih kanvas, aku bahkan melukisnya sendiri dengan gila. Apa adanya…

Senja. Terlalu pengecut menengok celah jendela, menjadi pecundang dalam kerumunan, bisu dengan jutaan pertanyaan. Muntahan teh di cangkirmu, lengket di meja kanvas. Tangan Tuhan pun bicara. Kau belum tergerak.

Kotak-kotak senja siap mengirim diksi ke Negeri tempat kamu berada. Negeri sang Antah-Barantah. Tak ada dongeng. Tak ada istana. Yang ada hanya cambukan kenyataan, bahwa cerita ini telah di jalankan oleh Tuhan. Hingga nafas yang terakhir.

Dengan sedikit rayuan nakal. Tentang senja. Dengan sedikit siang yang hampir usai. Selamat datang untuk engkau yang telah bersedia hadir. Mari bersama pecahkan misteri. Mengkristalkan kenangan. Dengan sedikit masa lalu …., yang pun masih misteri. Sama misterinya dengan kearoganan angka-angka yang mendimensikan atmosfer kata-kataku, yang selalu kupersembahkan untuk jinggamu. Sang gadis pemuja senja, pencumbu aroma melati.

Dia, masih bernama Senja.

Hangat sayap kupu-kupu itu masih menerjang dingin dentuman hujan di genting narasi
Aroma tanah menyeruak hingga pori-pori
Bagaimana dengan senyummu?
Aah, bualan saja
Bias aurora
Ia masih tersimpan di kotak senja
Di tengah secangkir kopi panas
Bagaimana itu terasa begitu menyakitkan?
Menguntai tinggi, terurai jauh, bersimpul senyum
Kebahagiaan
Masih dibiarkannya teko teh melati itu kosong
Melebur jaring-jaring embun
Menyingkap jingga dalam tangkupan hati
Kanvas menari
Putih dan berkenangan
Bersiul riang dengan sepasang kelinci mungil di tangannya
Polos
Harapan
Jalan
Peta
Sandaran dan rumah untukku berpulang …, Semoga.