Sebuah Perjalanan; “Membebaskan Senja”

Tak ada keindahan pagi bila tak ada Senja. Mungkin demikian hakikat senja seharusnya. Maka hanya—ribuan–terima–kasih yang bisa kupersembahkan dalam perjalanan ini.
Bukan lagi tentang sebuah misi. Namun Perjalanan Senja teruntuk: “Membebaskan Senja”

Kebebasan Senja

Melepas SenjaSaat mulai menuliskan senja, semesta seolah bisu. Lalu kemerduan ombak menyapunya bersih bersama simbahan pasir laut selatan. Sekejap –senja– sirna. Mungkin memang demikianlah seharusnya kehidupan ini, memikat dan melepaskan. Menghapus bukan berarti melupakan. Beranjak bukan berarti meninggalkan. Hanya perlu melanjutkan perjalanan, sebab perputaran waktu tak hanya berhenti di Senja.

Berikut catatan yang kami goreskan sama—layaknya perjalanan sebelumnya. Catatan teruntuk “Membebaskan Senja” saat menikmati rembulan di antara pekat Pantai Sadranan, Gunung Kidul, Yogyakarta;

2 Juni 2015

20:43

=Pantai Sadranan=

Kami, berempat.Perjalanan dimulai pukul 09:20 pagi, menuju persinggahan senja di malam purnama. Masih mengikuti jejakmu, Senja. Perjalanan kedua dengan cerita yang berbeda pula. Namun mengusung misi yang sama. Menyongsong Senja.

Lagi, untuk Senja. Bersimbah pasir harapan dan bergelimang deburan merdu ombak Pantai Selatan, masih di kota yang sama. Masih dengan mimpi yang sama. Senja.

Gempuran ombak merambah dengan ganas menuju tenda. Malam yang tercipta tanpa sepoi angin, tanpa bintang. Demi Senja mereka mengalah tenggelam.
Keheningan, gemuruh samudera, belaian mesra angin laut biru dalam pekat, membuyarkan imaji.

Beberapa jam yang lalu, aku sempat bersapa denganmu. bercengkerama layaknya dua kawan yang telah lama tak bertemu. Kini kau tampak tegar, sinarmu telah banyak membuat senyuman.

Duduk anggun di lingkaran arsy indahmu. Memupuk rindu yang kian pudar. Namun cahayamu utuh.
Gelapnya pikiran, tak segelap hati.
Gemintang mengintip ingin tahu. Senja, kami di sini, membicarakan sisi lainmu. Sosok baru yang hadir dalam keterkejutan. Di saat kami tengah bergumul dengan jinggamu. Mungkin inilah diorama kehidupan, teruntuk… Ah! Entah teruntuk siapa.

Jika aku menjadi kamu, oh maaf, terbalik, jika kamu menjadi aku wahai Senja. Apa yang akan kau lakukan?

Aku seperti bukan diriku, aku bahkan tak mengenal siapa aku. Senja.
Menjelma menjadi diri orang lain hanya untuk melihat kebahagiaan semu.
Tuhan, aku bersyukur atas kehidupanku ini. Kehidupan tentang nikmat semesta, tentang keindahan yang Engkau sampaikan melalui cahaya senja dan tuturan sang rekan senjaku.

Amin.
Narasi ini akan dimulai lagi. Antara aku, kau dan dia.

Senja, tahukah, purnama di langitku perlahan mulai bersinar sempurna. Sesempurna harapku akan kehadiranmu. Ya, ini tak kan habis sampai kau hadir melengkapi narasiku, narasi kami. Bahkan mungkin memang tak kan pernah habis.

Tongkat batas air sudah tertancap kokohnya. Namun deburan ombak yang tertarik gravitasi bulan enggan menyentuhnya. Kali ini ombak yang ganas takut kepada kami. Karena kecamuk pikiran masing-masing.

Tak ada yang lebih tahu mengapa ombak rela menghantamkan diri pada sisi batu karang dan melebur habis di bibir pantai, kecuali dirinya sendiri. Hai ombak, dengarkah?
Tentang pertanyaanku ini padamu.

Malam
Terukir dari purnama bulan
Terendus dari galaunya ombak
Menggelitik pasir putih
Malam…
Ini bukan yang pertama.

Katanya, suaramu yang paling merdu dari suara-suara di semesta fana ini. Pekat membawa nadamu kian menggema jelas di kilat rinduku, disampaikannya bersama buih putih. Jadilah kompas untuk perjalananku selanjutnya.

Jika bukan kepadamu, lalu akan aku kemanakan lagi suaraku. Ini bukan keluh, hanya rasa penasaran akan jawaban dunia terhadap keingintahuan seorang bocah.

Kami berdiam, cukup lama, kehidupan ini dan kamu, Senja, yang mempertemukan kami. Dan kelak, pasti kehidupan pula yang akan memisahkan kami. Sebenarnya, apa yang tersembunyi di balikmu, Senja. Begitu kunadakan.

Apa harus kukatakan “sayonara” disaat ini juga?
Sebenarnya aku tak kuat menahan rasa perpisahan. Satu-satunya yang tak kusukai dari pertemuan adalah adanya perpisahan.

Tidak, tidak, bukan Senja. Kalimat dan perjalanan ini memang akan segera berakhir. Sama berakhirnya dengan purnama saat fajar menyibak semesta. Namun… Namun, pasti ada cara lain yang tidak “begitu saja”. Kita akan tetap menjadi kita sampai kelahiranmu, saat kau tumbuh bahkan melegenda. Tetaplah seperti ini.

Jika masa lalu adalah kenangan. Maka masa lalumu adalah antaramu dengan dirimu sendiri yang belum selesai. Sedangkan kenangan hadir menjadikan semuanya untuk pembelajaran atau bahan guyon esok hari. Senja, aku hanya ingin kehadiranku tak merusak masa lalu dan mimpimu.

Pada akhirnya Senja, hanya sejuta terima kasihku yang menjadi satu-satunya kalimat untuk disampaikan. Aku, kami, tak menemukan kata untuk mengakhiri retorika dari kecamuk batin ini. Toh, aku tak bisa menarik kembali kalimatku yang telah terlontar begitu saja. Tak bermaksud.

Terima kasih, Senja.

Dari sang waktu yang hadir tak lebih dari rasa kagum yang belum habis. Kau mencoba menyatukan kami dengan retorika yang tergores membuktikan sebuah teori bahwa aku tak sendirian di dunia ini. Jika ada kata yang lebih untuk dituliskan selain “Terima Kasih” maka aku akan memilih kata tersebut.

Aah… Sudahlah Senja. Pada akhirnya inilah kehidupanku, kehidupan kami. Meski takut, meski cemas, meski khawatir, kami pun memang harus menantang tangguh menghadap kehidupan.

Aku, kamu, dan dia sudah tergaris dan tergores. Semoga garis ini bertemu lagi di suatu titik yang sama, meski hanya untuk menyapa.

“Terima kasih, Senja.”

23:14 WIB

Mengaksarakan Senja

Begitulah sekiranya catatan yang kami buat dengan jutaan kecamuk yang bergelut di pikiran. Bahkan di saat sekedar membacanya ulang. Diksi yang tertoreh dengan hati-hati. Semoga waktu menjaganya. Semoga senja meleburkannya. Semoga dan semoga waktu bersedia menghadirkan senja untuk harapan kami.

Semoga—, semesta berkesempatan menyambut perjalanan kami di lain waktu. Senja.

Menapak tilas, melepas.