Sejak tau adanya kehadiran calon adik bayi, beberapa bulan sebelumnya, ku galau luar biasa karena (pasti) Kahfi harus disapih sebelum waktunya. Kala itu aku bertekad ingin mengakhirinya dengan cinta, karena ku mengASIhi diawali dengan cinta.
Kian mendekati waktu sesekali ku-sounding dengan kalimat positif. Aku nggak mau bilang udah nggak boleh nen karena untuk adek bayi, karena ada adek bayi, dan semacamnya. Sebab, itu cuma akan ngebuat dia makin cemburu. Tanpa itu pun Kahfi tipe anak posesif sama Ummanya. Bahkan Abinya pun nggak boleh nyentuh Umma kalo lagi posesif.
Aku juga paham betul, Kahfi itu mengerti dan menyimak setiap kata serta kalimat yang diujarkan orang lain. Dia bahkan sudah memahami kalimat perintah meski belum bisa bicara. Makanya aku meniatkan penyapihan tanpa nennya dikasih apa pun.
Dan benar aja, pernah iseng coba nennya dikasih garam, dia cuma ngerengek sambil diemut tiga kali. Dirasa-rasain. Hilanglah itu rasa asin. Pernah juga coba dikasih pewarna makanan berwarna merah, Kahfi cuma nangis sejenak sambil ngelapin pake tisu dan nyuruh Ummanya juga ngelap. Dah hilang. Lanjut nen lagi. Secerdas itu dia.
Dalam hal penyapihan ini, aku juga berkompromi sama mas bojo (INI PENTING!). Harus satu pendapat dan saling berbagi peran. Bergantian ngurusin kalo lagi rewel atau sekadar ngajak main.
Afirmasi kalimat positif semakin rentet di-sounding-kan menjelang dua minggu dari tanggal yang ditentukan. Kukencengin juga minta pertolongan sama Allah biar dimudahkan, diikhlaskan (SUPERPENTING!).
Ada yang nyaranin 5W1H-nya harus jelas. Apa, kenapa, kapan, gimananya… Jadilah, “Kahfi anak sholeh Umma sudah besar, XXX hari lagi udah nggak nen ya, nanti minumnya susu UHT aja, kalau mau bobok nanti dipukpuk atau digendong Umma atau Abi. Anak baik, meski Kahfi udah nggak nen, Umma tetep sayang sekali sama Kahfi, cinta sekali…”
Kira-kira demikianlah kalimat yang setiap saat kuucapkan kalo lagi berdua sama Kahfi. Sembari kutatap matanya. Sesekali dia cuek. Tak menanggapi. Di waktu lain dia mengangguk seolah mengerti. Terkadang, sambil ngucap kalimat itu, aku berkaca-kaca sendiri.
Tibalah harinya…
Penyapihan dimulai sejak pagi, 30 Juni. Yang biasanya jam 7/8 pagi sudah tidur lagi, kali ini Kahfi kubiarkan main sampai kelelahan, dan sekitar jam 9 akhirnya berhasil ditidurkan Abinya. Tapi cuma 30 menit yang biasanya bisa tidur 1-2 jam. It’s okay.
Dilanjut, Kahfi seharian main di rumah Neneknya (Mama Mertua) sama Ende (Ayah Mertua). Karena deket banget sama Ayah, Kahfi banyak main sama Ayah ditemani Abinya. Jarak rumah kami berdekatan. Hanya sekitar 50 meter, dipisahkan lapangan komplek. Kahfi (bisa) kembali tidur ba’da ashar dengan digendong Ayah.
Malam pertama;
Deg-degan pasti. Lebih ke worry. Akan seperti apa dan bagaimana Kahfi tidur malam tanpa nen. Kalau siang masih aman. Tapi kalau malam, Umma nggak akan dilepas dari dekapannya sampai pagi. Karena beberapa hari mendekati hari-H, Kahfi justru makin nempel dan nen sepanjang malam.
Kami memutuskan nginep sama-sama di rumah Mama biar Kahfi nggak terlalu rewel karena banyak yang nemenin main. Sampai di jam 9 malam lebih. Matanya sudah merah sayu (kurang tidur siang), nguap berkali-kali, dia mulai rungsing. Nggak mau digendong siapa pun kecuali Umma. Mulai narik-narik baju minta nen sambil ngerengek. Dan pecahlah tangis sejadi-jadinya. Kahfi nangis sesenggukan sampai batuk-batuk di gendonganku. Patah hati rasanya. Ku nggak pernah liat dia senangis itu. Sesedih itu. Matanya sembap, menatapku penuh harap. Mana kuat hati ini ngeliatnya. Aku pun dengan sendirinya ikutan nangis. Sesenggukan. Melukin Kahfi. Aku bilang mas bojo, “Kasih aja ya, Bi.” Tapi tegas dia bilang, “Enggak! Jangan.”
Kalimat thayyibah yang kuucapkan sambil mengusap punggungnya kian mengiris hati. Berharap pertolongan Allah untuk menenangkannya. Hampir setengah jam kami nangis sambil pelukan. Kahfi akhirnya tidur karena kelelahan menangis. Lega dia tidur. Tapi dadaku sesak sepanjang malam. Memori kelahiran Kahfi menyeruak. Momen kali pertama mengASIhi, berhari-hari terjaga memastikannya tidur nyenyak, kenangan-kenangan itu berlalu begitu cepat.
Malam kedua;
(Masih nginep) Dilalui dengan mulus. Kahfi tidur dalam pelukanku tanpa drama, tapi pukul 10 malam. Oya, kalo (sesekali) tengah malam bangun paling hanya kugendong sebentar dan minum seperti kebiasaannya.
Malam ketiga;
Kembali tidur di rumah, di kamar dan kasur serta nuansa yang masih lekat dalam ingatannya “kalau bobok malam dikelonin sambil nen”. Beberapa kali dia ngerengek minta tiduran di kasur, memintaku berbaring di sampingnya. Nggak mau digendong. Tapi nggak berlangsung lama. Nggak kuat nahan kantuk. Akhirnya dia tidur dengan ikhlas dalam pelukan Abinya.
Semenakjubkan itu “perpisahan” kami yang diakhiri dengan cinta. Meski berat melepas satu momen rutinitas kami selama 16 bulan 2 minggu ini. Tapi saling mengikhlaskan pada akhirnya berperan jua. Kini Kahfi banyak kuajak main, sampai lelah dan lapar. Jadi dia banyak makan dan tidur lebih cepat.
#MasyaAllahTabarakallah